Sabtu, 29 September 2012

Kisah Sukses : Bekas Kenek (Kondektur) Menjadi Pengusaha Sukses

http://flabtasticfive.co.uk

Usaha kuliner Indonesia tapi bertempat di London. Wow, inilah satu satu-nya restoran Indonesia di  London.  Nusa Dua Restaurant berdiri di sudut Dean Street 11, Soho, di jantung ibu kota Inggris. Bangunan tiga lantai ini satu-satunya restoran Indonesia di kawasan belanja dan tempat nongkrong anak-anak muda itu.

Banyak makanan khas Indonesia yang ditawarkan disini seperti ayam kremes, sayur asem, sambal terasi, tahu isi, soto ayam, tempe, dan kerupuk udang.  Restoran ini dibuka menjelang sore tapi ternyata sudah banyak yang antri dengan latar belakang berbagai ras.

Resto ini adalah usaha hasil kerja keras Firdaus Ahmad (54) selama 20 tahun. Dia nekat pergi ke London karena penghasilannya sebagai kondukter angkutan Kampung Melayu –

Bekasi tak menentu. Kemudian ia tiba di London pada akhir 1981 dengan tiket pesawat yang dikirim saudaranya, sopir di Kedutaan Besar Indonesia di London.

Awalnya Daus bekerja di restoran Indonesia sebagai pencuci piring. Tapi resto ini tutup dan tak berumur panjang. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah mengambil alih dan menjualnya. Pembelinya adalah tukang masak asal Malaysia. Resti itu kini bukan lagi reto Indonesia tapi resto Asia dengan tukang masak pemilik resto terdahulu.

Kemudian seorang pengusaha Singapura mendirikan Nusa Dua Restaurant. Daus bergabung kemudian menjadi chef. Tapi  ini hanya bertahan tiga tahun. Pengusaha itu tak sanggup membayar cicilan modal. Royal Bank of Scotland (RBS) menyitanya. Dauspun menjadi pengangguran.

Pada 1991 ia sudah menikahi Usya Suharjono, perempuan manis yang tengah kuliah kesekretariatan di London. Ayah Usya adalah wartawan radio BBC seksi Indonesia. Ia mengikuti orang tuanya ke London setelah lulus SMA 2 Jakarta Pusat pada 1983. Daus punya ide mengambil alih Nusa Dua.

Usya maju sebagai negosiator dengan bank karena ia fasih berbahasa Inggris. Daus hingga kini masih gagap. Kepada tiga anaknya, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi dijawab dalam bahasa Inggris. Usya membujuk bahwa resto itu merugikan RBS karena tak mendatangkan untung, sementara pajak tetap harus dibayar.

Daus meyakinkan mereka akan mengelola rumah makan dengan jaminan membayar cicilan 1.000 pound tiap bulan tepat waktu. ”Jika tahun pertama pembayaran tak jelas, bank silakan ambil alih lagi,” katanya. Alhamdulillah RBS setuju

Sejak saat itu, Daus yang pegang kendali. Ia belanja, ia memasak, ia pula yang melayani pembeli. Karena makanan racikannya enak, pelanggan lama kembali, dan pembeli baru berdatangan. Restorannya mulai untung dengan omzet 10 ribu pon (Rp 140 juta) setiap pekan. Dalam waktu enam tahun, utang 100 ribu pound lunas.

Tabungannya mulai kembung. Daus membeli sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 5,2 miliar di sudut jalan dekat sekolah anaknya. Rumah sembilan kamar itu kini disewakan kepada pelancong asal Indonesia dengan tarif 19,5 pound semalam. Meski tak ada papan nama, orang tahu rumah bata merah di sudut jalan kompleks elite Colindale itu ”Wisma Indonesia”.

Daus dan Usya tinggal tak jauh dari situ. Tiga mobil di garasi mereka dapatkan dari usaha tersebut. Semuanya Mercedes yang harga satu unitnya rata-rata Rp 1,4 miliar. Daus kerap bolak-balik London-Bekasi untuk menengok keluarga besarnya di Jatiasih.

Setelah semua pencapaian ini, Daus hanya punya satu cita-cita: pulang kampung setelah anak-anaknya mandiri dan membuat taman pendidikan agama untuk anak-anak miskin.
Jika kita lihat awalnya Duas hanya ingin merubah nasib. Tapi, siapa sangka kini dia memilki usaha, di luar negeri pula. Dengan omset yang tak main-main. Dia berpikir cepat dan mampu menangap peluang. Tak pantang menyerah, tak takut rugi dan sanggup membuat deal atau kesepakatan yang berani kepada pihak bank. Kita harus mencontohnya, karena tak mudah bukan membuka usaha di negeri orang. Apalagi dengan keuntungan yang besar.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar