Sebagian di antara pemerhati ekonomi dunia hingga kini pasti
masih takjub. Mengapa China, yang pada 1978 demikian miskin, pendapatan per
kapita di bawah 100 dollar AS per tahun, kini ibarat terbang, menjadi negara
dengan kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat? Jepang,
Jerman, Inggris, Perancis, Kanada, Italia, dan Australia otomatis tergeser ke
belakang.
Bahkan, Amerika Serikat kini berdebar-debar sebab dalam
waktu beberapa tahun mendatang peluang China menjadi negara dengan kekuatan
ekonomi nomor satu di dunia sangat terbuka. Itu berarti, Amerika Serikat akan
berdiri agak ke pinggir karena ia bukan lagi negara adidaya ekonomi.
Selama lebih dari 30 tahun China melakukan apa yang disebut
revolusi produksi. China melipatgandakan semua industri, perkebunan, pertanian,
dan kerajinan. Produk China merajalela di mana-mana. Sudah produknya
berkualitas, harganya pun lebih murah. Siapa bisa lawan?
Lalu, produknya, yang serba massal itu, benar-benar
mencengangkan. Pakaian, komputer, sampai korek api bisa diproduksi dalam jumlah
jutaan per bulan. Namun, sudahlah, ini ”masih biasa”. Yang hebat, produk
pertanian ikut melonjak tinggi, benar-benar luar biasa.
Jika iklim bersahabat,
hasil pertanian (beras) China berlimpah, lalu sebagian diekspor. Dunia
tercengang sebab penduduk China sebanyak 1,4 miliar adalah pemakan nasi. Bisa
dibayangkan betapa tinggi produktivitas sawahnya kalau masih bisa ekspor.
Indonesia, yang jumlah penduduknya ”hanya” 241 juta jiwa, tanah subur, dan
sawah di mana-mana, mengimpor beras jutaan ton per tahun.
Sukses China mengilhami Vietnam yang praktis baru bisa
membangun dengan lancar tahun 1990. Meski sudah menang perang tahun 1975,
Vietnam dalam kondisi tercabik-cabik. Perlu waktu untuk konsolidasi kekuatan.
Vietnam, seperti China, memberlakukan satu negara dua sistem. Sistem ekonomi
pasar diterapkan di seluruh negeri. Memang Vietnam tidak bisa seperti China,
tetapi negara seluas 331.089 kilometer persegi (hampir seluas Jerman) itu mampu
meraih kinerja memukau.
Apa yang membuat Vietnam maju? Pemerintah negara itu paham
benar bahwa bangsa Vietnam adalah bangsa yang terbiasa bekerja keras, pantang
menyerah. Elan rakyat Vietnam menjadi bangsa yang dipandang orang
menyala-nyala. Di sisi lain, nah ini yang seru, rakyat Vietnam memiliki kultur
berbisnis yang cerdas dan tangguh. Kultur itu tertanam jauh sebelum Perancis
datang dan menjajah bangsa itu.
Di kota Hanoi, misalnya, spirit entrepreneur berkobar sangat
indah. Hampir semua rumah penduduk di dalam kota membuka toko. Hukum ekonomi
berjalan tegak, siapa bermodal kuat boleh punya usaha besar, toko yang lebar.
Namun, yang pas-pasan, sampai kelas menengah, bersabar di toko yang lebarnya
satu sampai tiga meter. Panjang toko kerap hanya satu meter, tetapi ada juga
yang panjangnya dua sampai lima meter.
Menarik memperhatikan langgam orang Vietnam berbisnis. Meski
kerap hanya ”jualan” beberapa botol minuman, beberapa bungkus rokok dan roti,
pemilik toko rela duduk mencakung dari pagi hingga malam hari. Ketekunan mereka
di antaranya tampak dari sini. Sebagian lagi membuka ”open air café ” dengan
menjual minuman ringan, berikut bangku-bangku plastik, yang biasa dipakai
anak-anak kelas satu sekolah dasar. Harga minuman (teh, kopi) dari Rp 2.000
sampai Rp 3.000 per gelas. Dari sini bisa diketahui omzet pemilik ”café”.
Namun, dari segi nominal memang kecil. Namun, inilah cara pemerintah Vietnam
membangkitkan elan entrepreneur rakyat. Pada saatnya, pedagang gurem itu akan
menjadi pedagang besar.
Indonesia sudah melangkah jauh di depan Vietnam, tetapi
bukan berarti mengabaikan kekuatan Vietnam. Sepuluh tahun lagi, bangsa unggul
itu akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi mengagumkan. Mereka memiliki
keterampilan, kecerdasan, dan sumber daya alam memadai.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar